Steven Paul Job

"CREATIVITY IS JUST CONNECTING THINGS. WHEN YOU ASK CREATIVE PEOPLE HOW THEY DID SOMETHING, THEY FEEL A LITTLE GUILTY BECAUSE THEY DIDN'T REALLY DO IT, THEY JUST SAW SOMETHING. IT SEEMED OBVIOUS TO THEM AFTER A WHILE. THAT'S BECAUSE THEY WERE ABLE TO CONNECT EXPERIENCES THEY'VE HAD AND SYNTHESIZE NEW THINGS."

Read more

Bill Gates

"I REALLY HAD A LOT OF DREAMS WHEN I WAS A KID, AND I THINK A GREAT DEAL OF THAT GREW OUT OF THE FACT THAT I HAD A CHANCE TO READ A LOT."

Read more

welcome to x8 sites

Mimpi bukan sekedar angan, bukan hanya sebuah harapan.. sayangilah mimpi kalian, tidak peduli seberapa besar mimpi kalian, berikanlah yang lebih besar untuk mimpi kalian itu

Here We Are

Jim Carrey

"It is better to risk starving to death then surrender. If you give up on your dreams, what's left?"

Read more

BJ Habibie

""Kalau Anda mengimpor gelas, mengimpor meja dan mengimpor mic, maka Anda membayar jam kerja orang sana. Bayarlah jam kerja rakyat agar semua bisa mandiri!"."

Helen Keller

""Be of good cheer. Do not think of today's failures, but of the success that may come tomorrow. You have set yourself a difficult task, but you will succeed if you persevere; and you will find a joy in overcoming obstacles."."

Read more

"Orang-orang yang paling sukses dan bahagia tidak memiliki semua yang terbaik tetapi mereka berbuat yang terbaik dari apa yang mereka miliki"

Read more

"ketika semua yg kau miliki telah hilang, jangan pernah kau bunuh sesuatu yg bernama harapan karena dia adalah lilin yg dapat mengembalikan yg telah hilang"

Read more

Dreaming Is Believing

Read more

Berhentilah berbicara dan mulailah melangkah. Karena di dalam seribu langkah kesuksesan terdapat sebuah langkah pertama

Thomas A. Edison

"I have not failed, I've just found 10.000 ways that won't work"

Albert Enstein

"A Person who never made a mistake is person who never tried anything new

Albert Enstein

"There are only two ways to live your life. One is as though nothing is a miracle. The other is as though everything is a miracle."

Edward Simmon

"the difference between failure and success is doing a thing nearly right and doing a thing exactly right"

Theodore Roosevelt

"the most important single ingredient in the formula of success is knowing how to get along with people"

Edward Simmon

"the difference between failure and success is doing a thing nearly right and doing a thing exactly right"

Winston Churchill

"Success is the ability to go from failure to failure without losing your enthusiasm"

"When you thing you want to try again as you want to breathe, that's when you'll be successfull"

"the only place where success come before work is in the dictionary"

Celestine Chua

"Life is about choice, you can choose to be a victim or anything else you like to be "

Kamis, 12 April 2012

Senyuman

                Angin berhembus pelan membelai dedaunan di pohon-pohon kelapa, menemani senja dengan langit yang mulai kehilangan siluet merah cahaya matahari. Mulai gelap. Samar-samar bulan dan bintang-bintang mulai terlihat. Menampilkan keindahan yang menyenangkan siapapun yang melihatnya. Desir ombak yang lembut mulai terlihat naik, bertambah keras mengikis karang-karang besar yang entah bagaimana terlihat seperti dekorasi alam yang sangat indah. Di atas karang itu aku sendirian berdiri. Menunggu langit benar-benar kehilangan siluet cahaya matahari. Tetap indah dan selalu indah meski tempat ini berlawanan arah untuk melihat sunset. Sehingga tidak pernah ada mentari yang perlahan bersembunyi di ujung laut sana. Tetap indah, pantai ini akan selalu indah di hati kami.
                Langit sempurna kehilangan cahaya matahari. Tergantikan biliunan cahaya bintang-gemintang dan bulan purnama yang sangat elok. Langit sempurna tanpa awan, sangat cerah. Angin masih berhembus pelan mengiringi ombak yang lembut mendesir ke bibir pantai. Sempurnalah keindahan malam ini. Aku belum beranjak. Tepatnya tak mampu beranjak. Inilah  hal yang paling indah untukku. Menatap langit yang penuh bintang dengan balutan suara ombak yang damai. Sejenak seakan aku bisa melupakan semuanya, semua kejadian pelik yang mencekik, semua masalah, lelah, semua itu sejenak hilang dari memori otakku. Malam ini sangat indah.

                Setelah puas menikmati awal malam ini aku memutuskan untuk pulang. Rumahku tak jauh dari sini. Hanya berkisar ratusan meter. Disanalah tempat para nelayan tinggal. Itulah sebabnya kebanyakan mereka sebut tempat kami ini kampung nelayan. Disebuah rumah petak disana, Ayah, Emak, dan adikku tinggal bersama. Sebuah keluarga sangat sederhana yang sangat bahagia.
 Ayahku, tentu saja seorang nelayan. Nelayan yang tangguh. Dia tak pernah menyerah menjala ikan sampai tak pernah ia pulang dengan sedikit ikan bahkan saat cuaca buruk. Sosok yang kekar, legam, sangat kuat namun sangat lembut dan perhatian. Ia sangat mencintai keluarganya, untuk itu ia tak pernah menyerah menjala ikan. Pulang dengan wajah yang sangat letih di siang hari namun tak pernah ia hilangkan senyum tenang dari wajahnya untuk kami. Pernah suatu waktu, adik perempuanku tak sengaja bertanya tentang ayah yang selalu pulang dengan sangat letih. Dan sebuah kalimat yang membuatku hatiku yang paling dalam terhanyut untuk sebuah frasa “masa depan”. Kalimat itu tak pernah kulupa bak header yang selalu berada paling atas.
Ayahku seorang ayah yang kuat, ia dibesarkan oleh didikan keras ayahnya yang  tetap dihiasi akan kasih sayang. Sejak ia dilahirkan ia sudah tinggal disini, kampung nelayang. Ia dibesarkan menjadi seorang nelayan hebat seperti ayahnya. Ayahku seorang yang kuat. Ia tinggal sendirian sejak umurnya menginjak 13tahun, setelah ditinggal ibunya yang terkena serangan jantung ketika umurnya masih belia, ayahnya juga harus pergi dan tak kembali setelah ayahnya ikut terjatuh saat berusaha menolong temannya yang terjatuh saat perahu yang dinaikinya terbalik ditengah badai. Ia tinggal sendiri, benar-benar sendiri. Dan aku tahu, dia sangat mengerti akan arti kehilangan. Itulah mengapa dia sangat mencintai keluarganya.
Awalnya ayahku berusaha sendiri, mencari dan menjala ikan, selama sebulan ia terus melakukan itu. Namun hasilnya minim, hanya satu dua ikan yang bisa ia dapat, paling banyak 5 itupun kecil-kecil. Hanya cukup untuk dimakan dan jarang  ada sisa untuk dijual. Krisis ekonomi yang melanda saat itu membuat tetangga pun sulit membantu. Ayah tidak pernah sempat untuk sekolah, untuk makan saja sesekali makan sesekali tidak, tak pernah tentu. Ditambah lagi, hanya kempuan menjala ikan yang dia punya. Sehingga sangat sulit untuknya mencari perkerjaan lain selain menjadi nelayan. Tak ada mimpi yang dapat ia bayangkan selain, bisa makan di pagi dan di malam hari. Hanya mimpi sederhana itu.
Untungnya masa-masa sulit itu tidak berlanjut lebih lama. Seorang nelayan yang tinggal dua rumah dari rumah petak yang sangat kecil milik ayahku mulai berempati. Seorang duda yang belum sempat memiliki anak dan akhirnya dia megangkat ayah sebagai anak. Tentu saja itu kabar yang sangat baik bagi seorang yatim-piatu.  
Nelayan itu sangat baik, juga perlahan bisa menganggap ayah sebagai anaknya sendiri. Saat itu ayah mulai beranjak remaja sehingga tentu saja dengan senang hati ayah selalu membantu nelayan itu melaut, menangkap ikan. Bukan main, nelayan itu adalah nelayan yang hebat. Ayah banyak belajar darinya. Dari masa-masa inilah ayahku mulai mengenal kata itu, kata yang tak pernah luput ia ucapkan setiap hari padaku, “mimpi”. Mungkin Nelayan itu juga setiap hari memberi ayah kata kata tentang kata spesial itu, ya aku yakin. Ayah juga pernah bilang. “Menjadi apa yang kau mau itu bukan sekedar harapan yang bisa kau tunggu, dia tak akan pernah datang sendiri”. Itulah Kalimat nelayan itu yang pertama kalinya membuat ayahku bangkit. Sampai, inilah mimpinya, menjadi sehebat nelayan itu dan membalas semua yang ia beri. Aku yakin bahkan sekarang ia telah melebihi kehebatan nelayan itu.
Ibuku juru masak yang hebat, terkadang ia membantu mengurus warung makan milik tetangga. Aku tak pernah bisa melewatkan hidangan ikan jenis apapun yang dimasaknya, aku yakin semua pasti lezat. Sejak ibuku remaja ia memang sudah pandai memasak dan bekerja sbagai juru masak. Disebuah kedai makan, ayah dan ibuku bertemu. Ayahku 25 tahun, ibuku 23 tahun. Kedai tersebut adalah kedai milik seorang pedagang dari sumatera dan memang tempat langganan ayah dan nelayan itu dulu. Hingga akhirnya karena sering bertemu ayah mulai terpikat dan memutuskan untuk meminang ibu. Sayangnya sebelum mereka menikah, kabar buruk datang. Ketika itu, Nelayan si malaikat ayah bersama ayah  harus melawan badai yang sangat besar saat pulang melaut. Ayah terjatuh ke lautan luas. Nelayan itu dengan sigap melompat mencoba menyelamatkan. Kabar baiknya, ayah selamat. Iya berhasil menggapai kayu kayu perahu. Namunkabar buruk untuk nelayan itu. Kakinya terkena sengatan ubur-ubur. Dengan spontan ia kaget dan lambat laun tak sadarkan diri hingga tenggelam ke dasar laut. Ayah yang masih tersenggal untuk bernafas, hanya bisa melihat kejadian mengerikan itu. Sayangnya kematian menghapus mimpi ayah yang kedua, membalas jasa nelayan itu.
Kabar buruk itu tidak menghentikan niat ayah menikahi ibu. Mereka tetap menikah. Namun kondisi mental ayah tidak sebaik dulu. Hingga aku seorang yang diberi nama Tania lahir ke bumi ini, ayah masih takut melaut. Trauma. Ibu harus bekerja siang malam sebagai juru masak. Masa-masa yang amat sulit bagi keluarga kecil kami. Ya, banyak kejadian yang terjadi saat itu, mungkin banyak cerita yang akan  kau temui dicerita ini. Yang jelas ayahku mulai kembali semangat saat adik kecil ku lahir 6 tahun kemudian. Adik laki-laki ku "cita". Ah, mungkin aku terlalu panjang bercerita tentang keluargaku.

* * * 
Langkahan kaki ku terhenti di sebuah rumah sederhana. Tentu saja itu rumah keluarga kami. Ayah masih terjaga diluar, menyapaku dengan senyum hangat. Aku yang pulang di waktu-waktu ini sudah tidak asing bagi ayah, sejak aku menginjak umur 12 tahun aku hal ini sudah menjadi kebiasaanku. Aku mencoba memulai percakapan, namun ternyata lidahnya bergerak lebih cepat membuka pembicaraan.
"Bagaimana hakok sore tadi tan?"
hakok nama pantai indah kami sejak dulu dinamai seperti itu.
"Tentu saja indah, langit sangat cerah yah, besok pasti ayah kan  mudah pulang bawa banyak ikan"
suaraku mencoba menghibur.
"Mungkin tidak, besok ayah dan ibu harus ke belitung.... ada,  ada sesuatu.."
suara itu terlihat janggal untukku, sangat parau terdengar dan melahirkan tanda tanya besar di benakku. Namun melihat wajah letih yang tak bisa tertutup oleh senyum hangatnya, aku menyimpan tanda tanya besar itu. Demi melihat senyum itu tetap terpaut di wajah ayah, aku tak mau membuatnya bercerita panjang lebar tentang ada apa esok. Aku hanya mengagguk. Lantas ayah menyuruhku masuk, memintaku untuk segera beristirahat. Ibu akan ikut pergi, itu tandanya aku harus menggantikan pekerjaan rumah yang cukup banyak. Hanya itu pilihan yang baik untukku dan itulah yang terjadi malam itu. Langkah kakiku segera beranjak ke arah ruang tidur sangat sederhana untuk aku dan adikku.

***

Fajar masih bersembunyi. Desiran ombak lemah membelai pesisir. Angin cukup kuat menggetarkan pepohonan kelapa di pesisir pantai. Sangat hening. Langit masih gelap. Gelap? Ya, bintang bersembunyi dibalik awan-awan hitam. Bulan purnama entah ada di balik awan yang mana. Lampion-lampion tua di setiap jejeran rumah di kampung nelayan hanya mampu menunjukan arah jalan. Samar. Aura dingin menyelimuti sekitar tubuh kami.
Sejak 15 menit lalu kami telah sampai di darmaga kapal. Ayah dan Ibu akan pergi bersama nelayan yang juga harus pergi ke belitung. Ternyata tentang sebuah peluang bisnis besar. Bisnis seorang pedagan ikan yang bisa menawarkan harga mahal untuk ikan ikan besar di pulau bangka ini. Sebelum aku berangkat, ayah bercerita tentang kabar baik ini. Kabar baik yang mungkin akan merubah hidup kami. Harapan itu lahir bak bunga yang tanpa disirami tumbuh indah di hati kami. Namun sayang langkah pertamaku saat pintu rumah terbuka sedikit memuat layu bunga yang tumbuh itu.  Mata ayah dan ibu tampak yakin, seolah tak akan terjadi apa-apa. Hanya itu yang membuatku mimikku terlihat tenang saat ini. Namun tidak untuk hatiku.Ayah tidak tahu pasti kapan ia akan pulang, tidak ada penjelasan kapan dari pihak swasta itu. Ditambah lagi deru angin dan awan-awan itu menggorogoti hati kecilku. Aku mencoba mengeraskan hatiku sekeras karang. Tidak akan terjadi apa-apa. Tidak akan. 
Kapal yang telah ditunggu datang 5 menit kemudian. Genap 20 menit kami menunggu. Hatiku mulai berdamai melihat keadaan yang tampak mengundang badai. Mata yakin ayah seakan menyiram kembali bunga yang telah tumbuh. Bunga itu kembali mekar, melahirkan lengkungan senyum yang menghiasi bibirku. Aku sangat ingat kalimat itu, kalimat indah ayahku. "senyum ikhlas adalah sebuah lengkungan yang meluruskan segalanya " dan saat ini itulah yang kucoba lakukan. Meluruskan hatiku bahwa semua akan baik-baik saja. 
Denting waktu terus berjalan. Aku memeluk erat mereka berdua. Cukup lama hingga detik-detik disaat aku harus melihat orangtua ku pergi mulai mendekat. Mereka mulai naik ke atas perahu kayu yang cukup besar milik teman ayah. Jangkar perlahan dinaikan. Perlahan kapal bergerak. Deru angin terus mengencang seakan meminta perahu itu segera pergi ke tengah lautan. Aku melihat kapal itu dengan terus mencoba tersenyum. Ayah dan ibu terlihat melambaikan tangan tanda perpisahan. Mata yakin mereka tetap terlihat mencolok. Namun itu tak cukup membendung air mataku. Perlahan menetes. Tak kuasa ku tahan lagi. Mulai menderas ketika perahu besar itu mulai tak terlihat oleh mata kecil ku. Tanganku terus mencoba menghapus dan menghentikan hujan dari mataku. Terdiam. Terpaku. Aku belum mampu bergerak. Membiarkan detik-detik berlalu melewatiku. Detik-demi detik,  Menit demi menit, setengah jam sudah aku mematung di darmaga pelabuhan. Aku sudah berhenti menangis. Air mataku mungkin sudah kering untuk melihat kepergian kedua orangtuaku. Tepat ketika aku mulai melangkah berbalik, hujan deras turun membasahi sekujur tubuhku. Sontak aku berlari menuju kampung nelayan.
Sekujur tubuhku basah diguyur hujan. Tubuh kecilku menggigil kedinginan. Beberapa menit yang lalu aku sampai di rumah. Mengagetkan adikku yang tadinya masih terlelap dalam mimpinya. Untungnya kerjadian ini tidak membuatku sakit, hanya sedikit demam. Pagi itu adik laki-laki ku dengan segera merawatku, memasakkan air panas lantas membiarkanku kembali tidur dibalik selimut hangat. 
Hujan masih mengguyur dengan deras. Tak sempat ada sunrise yang hampir selalu kutunggu di tepian pantai. Langit sepenuhnya gelap. Pagi ini Adikku yang memasak. Ibu dulu sering mengajarkan kami cara memasak dan Cita sedikit mengerti setidaknya untuk menanak nasi dan memanggang ikan. Tentu saja, rasanya pas-pasan namun untuk perut yang lapar, masakannya cukup memuaskan. Setelah sarapan aku kembali ke kasur tanpa ranjang di kamarku. Kembali kebalik selimut. Berharap dengan tertidur, aku bisa melupakan kecamuk rasa khawatir di benakku. 
Waktu beranjak sangat cepat ketika aku tertidur. Diluar masih terdengar suara gemercik air. Adikku menatap miris keluar jendela. Hujan tak kunjung berhenti. Matanya terlihat habis menangis. Tapi segera sempurna tertutupi oleh matanya dan senyumannya. Mirip sekali dengan ayah. Aku ikut menatap jendela dari tempatku berbaring. 
 "Apa, apa ayah ibu akan baik-baik saja?" sangat ragu suara dari adikku itu.
"tentu saja, mereka pasti sudah sampai di belitung sekarang" aku mencoba meyakinkannya.
sejenak hening. Mungkin adikkut tetap akan ragu walaupun aku meyakinkannya panjang lebar. Kami terdiam cukup lama. Hingga suara ketukan pintu menghentikan lamunan kami berdua. Pak Sofian telah berdiri di depan pintu rumah kami. Aku membukakan pintu untukknya. Bajunya amat kuyup, matanya juga kuyu, badannya gemetar, mungkin karena kedinginan. Aku mempersilahkannya masuk. Sama sekali tidak berfikir apapun hingga dengan gemetar ia berkata patah-patah. Kabar buruk yang tidak pernah ingin ku dengar. Kabar buruk yang bahkan tak pernah kucoba bayangkan. Namun ini bahkan bukan mimpi. Sebuah kalimat itu sempurna membuatku tertunduk. Adikku tergopoh-gopoh datang, mencari tahu apa yang terjadi. Tak lama ia pun ikut mendengar kabar itu... 
Perahu yang dinaiki orangtua kalian tenggelam... mereka belum ditemukan.. belum ada kapal yang bisa mencari karena badai kembali datang.. 
Sempurna tertunduk. Air mata ku tanpa kuasa kutahan, mengalir deras. begitupun adikku. Bahkan lebih dengan jeritan tidak percayanya. Kabar duka yang tak pernah kuduga, tak pernah kuminta datang dengan sendirinya dan kini membuat kami lumpuh.Sempurna tertunduk. Membatu tak percaya. Seketikagelap. Aku terjatuh tak sadarkan diri. 

***
"ayah, apa ayah tidak pernah sedih ketika ayah kehilangan kedua orang tua ayah?"
"pasti tania, itu sangat menyedihkan, tapi selalu ada perpisahan disetiap pertemuan nak, kita pun pasti akan berpisah nanti" 
"apa iya? bukankah ayah  berjanji akan melihat tania menjadi orang yang hebat dulu? knp kita pasti berpisah ayah?"
"Itu semua pasti terjadi tania, seperti semua yang hidup, pasti akan mati"
"tapi aku tidak mau ayah pergi"
"Ayah tidak akan pergi sekarang tania, tapi suatu saat itu pasti terjadi"
"bukankah Dia akan selalu memberikan apa yg dibutuhkan hambanya? Tania selalu butuh ayah dan ibu, bagaimana mungkin Dia membuat kita berpisah?"
"mungkin saat itu Dia tau, Tania sudah besar dan sudah bisa hidup sendiri, tania kan anak yang hebat?"
"tapi............."
"tania, berjanjilah, apapun yang terjadi, apapun yang sang kuasa takdirkan untuk kita, jangan pernah menangis untuk takdir yang ia tetapkan, percayalah, Dia akan selalu memberikan yang terbaik untuk kita... tetaplah bersyukur"
"apa kehilangan adalah yg terbaik? bukankah itu akan membuat tania sedih? bagaimana tania akan bersyukur?"
"selalu ada yang tidak kita ketahui dibalik berjuta pengetahuan, dibalik semua fakta, bahkan di balik semua tangis-kesedihan"
"........................"
"Tania mungkin akan tau rahasia-Nya nanti, nanti, mungkin saat disyurga nanti. dan saat tania tau, tania akan terus memuja-Nya... tetaplahlah tersenyum, senyuman yg ikhlas adalah lengkungan yang selalu meluruskan segalanya

*****

langit sempurna gelap. Ombak bergerak kasar menggerus karang-karang. Deru angin bertambah kencang bersama jutaan tetes air  dari langit yang tak hentinya turun. Selaras dengan jutaan air yang turun dari dua orang anak yang detik itu harus kehilangan harapan mereka. Jutaan mimpi mereka. Sempurnalah mereka mengutuk langit yang mengambil kedua orang tua mereka. Tidak adil. Langit tetap tersenyum menyimpan jutaan rahasia masa depan. Inilah awal dari segala cerita, sebuah perjuangan, mimpi, dari sesosok kakak-beradik yatim piatu..

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar